PALEMBANG – TEROPONGSUMSEL.COM Dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah negeri. Kali ini, sorotan publik tertuju pada SMA Negeri 22 Palembang, yang diduga melakukan pungutan SPP sebesar Rp200 ribu per bulan kepada seluruh siswa.
Padahal, sesuai kebijakan pemerintah, sekolah negeri telah dinyatakan bebas biaya SPP. Selasa 14 Oktober 2025
Informasi mengenai pungli ini berawal dari laporan sejumlah wali murid yang mengaku keberatan dengan adanya iuran wajib bulanan tersebut.
Salah satu wali murid menyampaikan keluhannya kepada media.
“Kami disuruh bayar Rp200 ribu setiap bulan, tapi tidak jelas untuk apa. Kalau tidak bayar, anak kami dipanggil dan ditegur. Ini sekolah negeri, tapi kenapa seperti sekolah swasta?” ungkap seorang wali murid yang meminta namanya dirahasiakan
Menurut sumber di lingkungan sekolah, kebijakan itu telah berjalan sejak awal tahun ajaran baru. Namun, tidak ada dasar hukum, surat keputusan resmi, atau rapat komite yang sah yang menjelaskan peruntukan dana tersebut
Tim investigasi media mencoba mengonfirmasi langsung kepada Kepala SMA Negeri 22 Palembang, namun hingga beberapa kali didatangi, yang bersangkutan selalu menghindar dan menolak memberikan keterangan resmi.
Kepala sekolah tidak ada di tempat,” ujar salah satu guru menjawab singkat ketika awak media datang ke sekolah.
Sementara itu, salah seorang guru yang ditemui di lokasi membenarkan adanya pungutan, namun enggan membeberkan detail penggunaan dana.
“Memang benar ada iuran Rp200 ribu per bulan, tapi saya tidak tahu persis untuk apa. Mungkin untuk kegiatan sekolah,” katanya singkat sebelum meninggalkan ruangan.
Dengan jumlah siswa mencapai sekitar 1.490 orang, total dana yang terkumpul dari pungutan tersebut mencapai Rp298 juta per bulan. Dalam setahun, nominalnya bisa menembus lebih dari Rp3,5 miliar. Angka yang sangat besar untuk aktivitas yang tak memiliki dasar hukum jelas.
Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan semangat pendidikan gratis yang diatur pemerintah melalui Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Aturan itu secara tegas menyebutkan bahwa sumbangan pendidikan bersifat sukarela, bukan pungutan wajib.
Selain itu, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa setiap peserta didik berhak memperoleh biaya pendidikan dari pemerintah, khususnya bagi keluarga yang kurang mampu.
Dengan demikian, kebijakan SPP wajib di sekolah negeri dapat dikategorikan melanggar hak siswa atas pendidikan gratis.
Dari sisi hukum, praktik ini dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 12 huruf e, disebutkan:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,”
dapat diancam pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
Seorang narasumber dari kalangan pemerhati pendidikan di Palembang, yang meminta identitasnya dirahasiakan, menilai bahwa kasus ini perlu segera diselidiki aparat penegak hukum.
“Kalau uang dikumpulkan secara wajib tanpa dasar hukum, itu sudah memenuhi unsur pungli. Apalagi jumlahnya sampai ratusan juta per bulan. Dinas Pendidikan harus segera turun tangan,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan belum memberikan tanggapan resmi.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa praktik serupa juga terjadi di sejumlah sekolah negeri lain, namun belum ada penindakan tegas dari pihak berwenang.
“Selama Dinas tidak membenahi sistem transparansi dan pengawasan, praktik pungli di sekolah negeri akan terus terjadi. Uang itu rawan disalahgunakan,” ujar sumber lain dari lingkungan akademik.
Kasus dugaan pungli di SMA Negeri 22 Palembang kini menjadi perhatian luas. Banyak pihak berharap aparat penegak hukum, termasuk Inspektorat, Ombudsman, dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, segera memeriksa praktik pungutan tersebut.
Publik juga menuntut agar dana yang telah dikumpulkan diaudit secara terbuka dan pihak-pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Pendidikan itu hak anak bangsa, bukan ladang mencari keuntungan. Kalau sekolah negeri saja ikut memungut liar, bagaimana nasib siswa dari keluarga miskin?” tutur salah satu wali murid dengan nada kecewa.
Dugaan pungli di SMA Negeri 22 Palembang menjadi cermin buram bagi dunia pendidikan di Indonesia. Di saat pemerintah gencar mendorong program sekolah gratis dan antikorupsi, justru muncul praktik yang mencederai kepercayaan publik.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi, pengawasan, dan integritas dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Jika terbukti benar, pungutan tanpa dasar hukum bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga kejahatan moral dan hukum yang harus ditindak tegas.
(Tim)